Gaji, tunjangan dan fasilitas yang diterima para profesional dan karyawan seharusnya merupakan cerminan dari kinerja perusahaan dan industrinya.
“Buat saya, gaji bukan segala-galanya,” kata seorang profesional sebuah perusahaan telekomunikasi papan atas. Bukan cuma dia sebetulnya, yang bilang begitu. Praktis, semua profesional hebat (dari berbagai industri) yang dihubungi SWA berkata seperti itu ketika diminta komentarnya tentang gaji, tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.
Jawaban itu, meski seragam dan terdengar klise, boleh jadi benar adanya. Minimal buat mereka. Yah… kalau gaji mereka sudah mencapai puluhan atau bahkan di atas seratus juta rupiah per bulan, rasanya keterlaluan kalau bilang masih kurang. Apalagi dalam konteks Indonesia, negeri dengan jutaan penganggur.
Namun, terlepas dari kondisi sosiologis negeri ini, para profesional bergaji tebal itu memang layak mendapatkan apa yang seharusnya mereka terima. Sebagai profesional, mereka telah mencurahkan sebagian besar waktu, pikiran, perasaan dan tenaga untuk memajukan perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan kepiawaiannya memilih, serta menerapkan strategi dan kebijakan bisnis yang jitu, mereka berhasil membawa perusahaannya keluar sebagai pemenang di tengah sengitnya persaingan bisnis. Terlebih jika sepak terjang perusahaan yang mereka pimpin itu mampu memengaruhi kinerja industrinya hingga mampu bertarung – katakanlah – di pentas bisnis global. Jadi, gaji yang mereka terima sesungguhnya berbanding lurus dengan kinerja perusahaan. Gaji, dalam kata lain, merupakan refleksi kinerja perusahaan dan industrinya.
Sebaliknya, tidaklah etis jika seorang eksekutif ataupun karyawan terus ngotot minta kenaikan gaji tinggi, sementara kinerja perusahaan jeblok di pasar. Bagaimanapun, maju-mundurnya sebuah perusahaan tergantung pada individu-individu yang ada di dalamnya. Ditarik dalam skala yang lebih luas, menjadi tugas dan tanggung jawab jajaran eksekutif dan seluruh karyawan untuk membesarkan perusahaan tempat mereka bekerja. Lebih hebat lagi, kalau perusahaan tempat mereka bekerja mampu memperkokoh sektor industrinya.
Juga tidak pada tempatnya, jika karyawan apalagi pemimpin perusahaan, menuntut kenaikan gaji yang berlebihan manakala kondisi perekonomian dan bisnis lagi krisis. Kondisi krisis memang sering berpengaruh besar terhadap seluruh aspek kehidupan, misalnya harga kebutuhan hidup meroket sehingga memukul telak daya beli masyarakat. Karena itu, kenaikan gaji memang perlu, tetapi harus wajar. Sebab, kalau keuangan perusahaan sampai kacau balau, ini sama saja artinya bunuh diri bareng-bareng. Dalam kondisi demikian, manajemen dituntut kreatif menciptakan lingkungan dan iklim kerja yang tetap kondusif agar karyawan tetap happy bekerja di tengah kondisi yang sesulit apa pun.
Yang kita rindukan sekarang, tentulah, bagaimana agar kata-kata “Buat saya, gaji bukanlah segala-galanya” tidak hanya diucapkan oleh jajaran eksekutif perusahaan, melainkan juga meluncur dari mulut dan sanubari karyawan di segala tingkatan majamenen, sampai level pramukantor sekalipun. Kalau ini yang terjadi, Indonesia pasti cepat maju. Sebab, setiap orang hanya berpikir bagaimana terus berkarya dan memberikan yang terbaik. Agar mampu memberikan yang terbaik, seseorang pasti akan terus belajar serta mengasah keahlian dan keterampilannya. Bagi perusahaan, pengaruhnya pasti luar biasa. Bayangkanlah, jika setiap orang berlomba-lomba memberikan yang terbaik!
Sebuah kondisi yang sangat ideal, tentu saja. Buat Indonesia, mungkin masih sebatas utopia. Namun, selama masih di atas bumi, segala yang sulit bukan berarti tak mungkin. Bangsa Jepang dan Korea Selatan telah membuktikan. Para karyawan perusahaan (terlebih perusahaan kelas konglomerat) di kedua negara tersebut umumnya sangat bangga atas tempat kerja mereka. Kebanggaan itu akhirnya menumbuhkan sikap dan kebiasaan untuk selalu memberikan yang terbaik buat perusahaan. Hasilnya? Tak butuh waktu lama buat kedua negara ini hingga tampil menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Nah, menjadi tugas para pemimpin korporasi Indonesia untuk selalu menumbuhkan rasa bangga dalam diri seluruh karyawannya. Menumbuhkan keyakinan bahwa perusahaan bukan sekadar tempat untuk mencari nafkah, melainkan tempat bagi setiap orang yang bernaung di dalamnya untuk berkarya dan mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaannya.
Monday, July 5th, 2010
oleh : Harmanto Edi Djatmiko ( www.swa.co.id )